ISU poligami ternyata sudah menjadi polemik sejak pra kemerdekaan Indonesia. Poligami menjadi perbincangan serius para aktivis perempuan bumiputera karena telah menimbulkan keresahan di masyarakat.
Bahkan ada suara-suara yang mengaitkan poligami sebagai salah satu praktik seksualitas di antara dua “P” lainnya, yakni Promiskuitas (seks bebas) dan Prostitusi dengan berbagai alasan pembenaran lainnya.
Kongres Perempuan Indonesia mengangkat isu poligami dalam acara kongres yang digelar 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta.
Kongres Perempuan Indonesia yang diikuti 30 perkumpulan perempuan dari seluruh Indonesia, yakni di antaranya Putri Indonesia, Wanito Tomo, Wanito Muljo, Aisijah, Jong Islamieten Bond bagian Wanita, Poetri Mardika dan Wanita Taman Siswa, membahas secara serius.
Hasil kongres yang berlangsung empat hari itu merekomendasikan praktik poligami harus mendapat surat keterangan dari negara.
“Salah satu keputusannya (Kongres Perempuan Indonesia) adalah pemerintah wajib memberikan surat keterangan pada saat menikah (undang-undang perkawinan),” demikian dikutip dari buku Bukan Tabu di Nusantara (2018).
Setahun berikutnya, yakni pada 28-29 Desember 1929 Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia juga menggelar kongres serupa di Batavia. Poligami kembali dibahas secara khusus di antara isu kawin paksa dan perkawinan anak-anak.
Isu poligami juga dibahas dalam Kongres Sarekat Islam (SI) pada April 1929 di Surabaya.
Sayap perempuan SI, yakni Sarekat Islam Wanudiyo Utomo yang kemudian menjadi Sarekat Islam Perempuan Islam Indonesia (SIPII), menegaskan poligami hanya bisa dilakukan dengan mempertimbangkan keadilan terhadap perempuan.
Sikap keras SI terhadap poligami itu mendapat dukungan dari Aisiyah, organ perempuan Muhammadiyah.
Follow Berita Okezone di Google News
Quoted From Many Source